Sabtu, 17 April 2010

Budaya atau Trend??

(Studi kasus teknologi terhadap faktor sosial)

Masih terbayang dengan baik, bagaimana ketika semasa saya kecil dahulu, selalu dididik untuk taat pada orangtua, guru, dan semua orang yang lebih tua. Menghargai siapa saja teman sebaya saya, dan tentunya menjaga dan menyayangi yang lebih muda. Pola pikir dan kebiasaan yang selalu saja diajarkan dan ditegaskan menjadi budaya bagi saya untuk menjalani aktifitas keseharian.
Di kala itu pula, saya bisa merasakan -- meski tidak tahu mendalam tentang ilmu sosiologi -- bahwa orang-orang masa itu saling menghargai, toleransi, gotongroyong, guyub dan (tentunya bagi saya, suasana saat itu) sangat menyenangkan. Saya keluar rumah dan bermain dengan teman-teman, disaat waktu luang saya sepulang sekolah atau selesai mengerjakan pekerjaan rumah (PR) dari sekolah. Tidak ada kesibukan individu, yang lebih disukai adalah kegiatan bersama, bermain hide and seek (bahasa gaulnya : delik-delikan), gobak sodor, dan masih banyak lagi.
Namun dengan adanya teknologi dan produk mesin entertainment semacam televisi, game, internet, dan sekawannya. Serasa menjadi guru revolusioner baru bab pergaulan di kalangan anak-anak hingga remaja, tak terlepas pula -- tentunya kalangan orang dewasa -- dengan santainya mengikuti pelajaran baru itu tentang etika pergaulan.
Dimana kehadiran guru virtual tersebut dengan mudahnya mengajarkan kekerasan, ketidak sopanan, trend buka-bukaan yang -- secara naluriah -- tidak cocok dengan budaya asli bangsa kita. Guru virtual tersebut pandai berakting, pandai menjadi trendsetter. Sehingga anak-anak dan remaja saat ini lebih suka berdiam dirumah berjam-jam dengan playstation, x-box, lepi atau PC -- yang bisa digunakan untuk game online atau fesbukan --  sendiri.
Sehingga rating pemakaian internet dan ponsel berbasis online meningkat, ini pula yang dilirik oleh para businessman. Banyak yang bermain di dunia virtual, tanpa harus mengeluarkan biaya banyak, kita bisa 'berjumpa' dengan sodara d ujung dunia.
Pemanfaatan ini, berdampak pula pada sepinya kantorpos yang dulunya sebagai jalur favorit komunikasi jarak jauh.

Semoga teknologi tetap sebagai 'pembantu' memudahkan pekerjaan manusia, tanpa mengurangi unsur budaya bangsa.

Tidak ada komentar: